Pages

Rabu, 14 September 2011

Resensi Film : A Beautiful Mind


Ini merupakan Based On True Story Film. Termasuk dalam daftar film favorit saya ^.^. Mengisahkan seorang matematikawan John Nash peraih nobel dalam bidang ilmu ekonomi pada tahun 1994, yang diperankan sempurna oleh Russel Crowe. Waloupun ini bukan film baru tapi sangat patut mendapat acungan jempol dan wajib anda tonton. Film ini juga meraih academy award.

Seorang matematikawan jenius tapi tak simpatik, alias apatis. Yang awal mula film nya dimulai pada tahun 1947 bersekolah di perguruan tinggi Princeton dengan mendapat beasiswa carniege. Dia adalah mahasiswa yang unik, tidak suka menyukai perkuliahan dan suka mbolos, karena menurutnya itu hanya membuang waktu saja dan mengekang kreatifias seseorang, dan hanya membuat otak tumpul. Dia justru lebih suka belajar secara otodidak, memahami dan memecahkan dinamika pergerakan natural melalui pemikirannya sendiri yang sangat kreatif. Nash lebih banyak meluangkan waktu di
luar kelas demi mendapatkan ide orisinal untuk meraih gelar doktornya
dan diterima di pusat penelitian bergengsi, Wheeler Defense Lab di MIT.

Konflik permasalahannya adalah
dia mengidap penyakit gangguan jiwa schizoprenia. Merupakan suatu gangguan jiwa yang orang itu tidak bisa membedakan mana yang halusinasi dengan mana yang nyata. Sebenarnya penyakit ini sudah sejak dia dari princeton, tapi tambah parah ketika ia mengajar di MIT.
Hidup Nash mulai berubah ketika ia diminta Pentagon memecahkan kode
rahasia yang dikirim tentara Sovyet. Di sana, ia bertemu agen rahasia
William Parcher. Dari agen rahasia ini, ia diberi pekerjaan sebai mata-mata. Pekerjaan barunya ini membuat Nash terobsesi sampai ia lupa
waktu dan hidup di dunianya sendiri.

Kasus John Nash kali ini adalah dia menganggap/berhalusinasi dirinya terlibat dalam konspirasi militer tingkat tinggi (aku ga mau cerita banyak deh,takutnya filmnya jadi ga seru). Film ini juga memberi kita pesan bahwa kekuatan sebuah cinta mengalahkan apapun. Kesabaran dari seorang istri sehingga Nash mampu bangkit dan meraih nobel di tahun 1994.
Page : << 1 2 3 4 5 ... 34 >>

Share:   Lintas Berita     Facebook     Tweet     Google     Digg     del.icio.us

 Cetak    Email    Komentar

Selasa, 05 Oktober 2010
RESENSI FILM: THE TOWN


Ben Affleck dan Rebecca Hall menjadi pasangan tidak mungkin dalam drama kejahatan “The Town.”  (CLAIRE FOLGER / WARNER BROS PICTURES)
Ben Affleck dan Rebecca Hall menjadi pasangan tidak mungkin dalam drama kejahatan “The Town.” (CLAIRE FOLGER / WARNER BROS PICTURES)
(Epochtimes.co.id)
Mungkin salah satu jenis drama aksi yang paling populer adalah motif perampokan. Sejak lahirnya layar perak, pecinta film telah terpukau dan sangat terpesona oleh aksi perampokan dan skema pencurian rumit.
Terlepas apakah itu menunjukkan suatu gejala sosial yang lebih besar, film bertema pencurian yang baik cenderung memiliki sedikit bumbu kunci — tim perampok yang terkoordinasi, rencana besar, perempuan menarik, adegan mobil mewah berkejaran, dan seringkali menampilkan daya tarik dikotik bagi para penonton agar berempati dan memihak baik pada  penjahat dan orang baik dalam film.
Dalam proyek arahan kedua Affleck, The Town, cerita film tradisi perampokan ini dipertegas dengan beberapa bumbu tambahan — menerima hidup Anda karena telah dibentuk oleh generasi sebelumnya versus melanggar aturan itu, memilih antara keluarga dan moralitas, dan cinta versus melindungi diri.
Berdasarkan novel karya Chuck Hogan Prince of Thieves, yang berlokasi di Charlestown, wilayah seluas satu kilometer persegi di Boston yang terkenal akan bibit perampok bank di Amerika. Affleck sendiri berperan sebagai tokoh utama, Doug MacRay, kepala tim pencurian terorganisir, yang berjuang antara mempertahankan loyalitas kepada teman-temannya dan pilihan meninggalkan gaya hidup hitamnya. Sang ibu pergi meninggalkannya saat usianya masih  enam tahun dan ayahnya (diperankan dengan cemerlang oleh Chris Cooper) mendekam di penjara keamanan tingkat tinggi untuk menebus hutang kejahatannya.
Setelah Doug dan timnya merampok Cambridge Merchant Bank dan menyandera manajer bank Claire Keesey, hubungan asmara yang mustahil tumbuh antara Doug dan Claire yang tidak menaruh curiga. Baginya, Keesey merupakan orang yang bisa mengubah hidupnya, perubahan yang selama ini sangat dinanti-nantikan. Tapi apakah Keesey akhirnya bisa menerima Doug dan timnya? Apakah ia akan tinggal bersamanya jika ia mengetahui profesi Doug yang sebenarnya?
Untungnya, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini menjadi samar oleh ketegangan multi-dimensi yang dimainkan, yang pada akhirnya menjelma menjadi apa yang mungkin dinyatakan sebagai kisah pencurian klise yang memiliki kedalaman, hati, dan jiwa.
Affleck bermain cemerlang, baik sebagai sutradara maupun aktor, dalam salah satu karakter paling mengesankan saat ini. Bintang yang sedang bersinar Jeremy Renner membuktikan bahwa ia menampilkan kinerja terbaiknya sebagai Jem, teman seumur hidup MacCay. Dan tidak lupa bintang “Mad Men” Jon Hamm, yang berperan sebagai Frawley, seorang agen FBI yang cerdas dan bicaranya cepat.
Bintang “Gossip Girl” Blake Lively memerankan karakter Krista, seorang ibu tunggal mantan pecandu-obat yang bermain sangat meyakinkan. Chris Cooper dan Pete Postlethwaite keluar sebagai pemeran yang kuat, mengeluarkan bakat luar biasa mereka dalam peran sebagai MacRay senior dan raja kejahatan Fergie.
Apabila Anda sedang mencari sebuah drama menegangkan dengan aksi dan pengembangan karakter yang baik, The Town bisa jadi merupakan pilihan yang tepat. (Helena Chao/The Epoch Times/val)

Baru saja saya menuntaskan menonton sebuah film jepang. Film tersebut berjudul Tada, Kimi Wo Aishiteru (2006). Artinya kurang lebih Just, Loving You. Mungkin Anda sudah pernah nonton, dengan judul lain: Heavenly Forest. Itu versi Inggrisnya.  
Setiap film jepang, bagi saya, selalu membekaskan kesan tersendiri. Sejak kecil saya memang suka film jepang. Mulai serial Oshin (TVRI dan TPI, jadul banget, saya masih SD), Rin Tachibana (TVRI), Suzuran (Transtv), hingga kartun Doraemon dan Rurouni Kenshin. Bahkan, beberapa waktu lalu saya melahap Seven Samurai dan pendekar pedang buta Zatoichi.  
Kembali ke Tada. Film ini mengambil ilham dari sebuah novel karya Ichikawa Takuji. Novel tersebut berjudul Renai Shashin – Mouhitotsu no Monogatari (Romance Picture – The Other Story). Ichikawa sendiri terinspirasi oleh film yang berjudul Renai Shashin (2003).  
Film ini beralur flashback. Jika dirangkai sejak awal, cerita bermula dari pertemuan Makoto Segawa (Tamaki Hiroshi) dengan Satonaka Shizuru (Miyazaki Aoi). Keduanya adalah mahasiswa sebuah universitas.  
Makoto punya hobi jepret-jepret kamera. Makoto adalah seorang pemuda pemalu.  Namun sebenarnya memendam bakat besar. Sedangkan Shizuru adalah gadis yang mengidap penyakit langka. Hormon pertumbuhannya tak normal, sehingga dia terlihat masih seperti anak-anak. Setelan yang dia pakai itu-itu juga: celana congklang di atas mata kaki, kaus kodok, serta kaus dalaman lengan panjang, ditambah kacamata besar. Miyazaki begitu tepat melakoni peran ini. Wajahnya manis, imut, lucu, dan kebocah-bocahan, serta berpotongan rambut bob seleher dengan poni di depan.  

(flickr)
Hubungan pertemanan mereka makin berlanjut dekat. Makoto selalu mengajak Shizuru masuk sebuah hutan. Sebenarnya hutan tersebut terlarang untuk dimasuki. Namun mereka nekat saja.  Maklum, Makoto tak pernah bisa menuntaskan hasrat fotografinya.
Wajar saja, lantaran isi rimba tersebut indah nian. Tak puas-puasnya Makoto menembak lebatnya hijau pepohonan (plenty of green), luasnya danau nan tenang, air kali yang bergericik mengalir tertimpal batu dasar sungai yang dangkal, serta burung-burung yang gampang-gampang susah dipotret. 
Rupanya Shizuru menaruh hati kepada Makoto. Dia pun minta diajari fotografi. Karya-karya Shizuru pun tak kalah cantiknya. Di mata orang lain, Shizuru nampak aneh. Kekanak-kanakan dan ganjil (weirdo). Hanya Makoto yang rela menemaninya setiap hari.  
Hubungan keduanya mulai merenggang dengan masuknya tokoh Fujiyama Miyuki (Kuroki Meisa). Miyuki adalah gadis yang cantik, menarik, begitu mature, lembut, pendek kata sempurna di mata kaum Adam. Miyuki kuliah satu kampus dengan mereka. Makoto naksir Miyuki –meskipun mereka tak pernah jadian. Karena Miyuki tahu, sebenarnya Makoto hanya tepat bagi Shizuru.  
Shizuru pun sadar, kalau dirinya penuh kekurangan. Fisiknya bagai anak kecil, tiada lekuk yang menarik. Namun dia selalu berujar, satu saat dia bakal berubah menjadi perempuan dewasa. Menjadi sosok yang cantik menarik dan tak terlupakan oleh seseorang yang mencintainya. Sebenarnya perkataan itu dia tujukan kepada Makoto. Hanya, Makoto menanggapinya sambil lalu.  
Satu hari, Shizuru meminta kado ulang tahun. Dia minta dicium Makoto. Dengan alasan, untuk diabadikan sebagai foto, untuk sebuah kompetisi. Makoto pun menyanggupinya. Makoto tak sadar, itulah hari terakhir dia bertatap muka dengan Shizuru. 
Setelah dua tahun berpisah, Makoto menerima surat dari New York. Rupanya dari Shizuru. Dia sudah bekerja sebagai fotografer di sebuah agensi. Shizuru mengundang Makoto menyaksikan pamerannya. Sebulan kemudian, Makoto menyambangi Shizuru di New York. Namun, yang dia temui adalah Miyuki. Rupanya Miyuki dan Shizuru tinggal seapartemen. Setelah lulus kuliah, Miyuki bekerja di New York. Bertemulah dia dengan Shizuru. 
Shizuru yang dinanti Makoto tak kunjung tiba jua. Rupanya dia pulang ke Jepang, dirawat ayahnya lantaran penyakitnya semakin akut. Lantas, meninggallah dia, dan abu jenazahnya telah dikremasi di kampung halaman.  Makoto hanya bisa menangis di depan gambar-gambar karya Shizuru. Sebagian besar, adalah foto diri Makoto sendiri. Serta, gambar Shizuru yang telah tumbuh dewasa, cantik, menarik, dengan potongan rambut panjang. Di ujung ruang pameran, Makoto tak jemu-jemunya memandang foto mereka berciuman di tepi danau di tengah hutan, tempat mereka berjumpa untuk terakhir kalinya.  

(flickr)
Film ini semakin berasa, karena dilengkapi oleh suara Otsuka Ai yang membawakan lagu tema (theme song) yang bertajuk Renai Shashin. Film ini punya banyak nilai lebih. Para pemainnya benar-benar orang Jepang, tak seperti film kita yang padat disesaki oleh artis karbitan berwajah bule atau blasteran.  
Pun, jalan ceritanya mengalir terasa nyata (meskipun fiksi), tak seperti kisah layar lebar kita (dan layar kaca), yang acapkali menyuguhkan cerita yang tak masuk akal serta melecehkan akal sehat.  Tak ada Miyuki yang dengki atau perebut pria lain; tak ada Shizuru yang bagai anak kecil nan licik dan jahat; tiada pula kawan-kawan kampus yang overacting meledek kekurangan Shizuru secara berlebihan; dus, tak satupun kekayaan materi yang telanjang diumbar. Semuanya berjalan natural dan makin menambah daya pikat.  
Tapi saya punya satu kekhawatiran. Duh, kalau begini kita tinggal tunggu waktu saja, satu saat pasti beredar film atau sinetron indonesia yang menjiplak film ini. Dengan rating tinggi pula. Ah, itu sih sudah lazim serta banal. Dan itu benar-benar memuakkan.  


Pacuan kuda adalah dunianya pria. Tak ada wanita yang bisa menembus dunia ini sampai Penny Chenery (Diane Lane) memberanikan diri masuk ke dunia yang sama sekali asing baginya ini. Bukan cuma bisa menembus dominasi pria namun Penny juga berhasil mengantarkan kudanya menjadi kuda paling legendaris di Amerika Serikat sampai saat ini.
Penny Chenery tak punya banyak pilihan selain menerima tawaran untuk mengambil alih Meadow Stable milik ayahnya yang sedang sakit-sakitan. Saat diambil alih Penny kondisi keuangan Meadow Stable sendiri sebenarnya jauh dari kata sempurna namun itu tak menghalangi tekad Penny. Dengan segala upaya, Penny akhirnya bisa merawat Secretariat, seekor kuda balap yang punya peluang menjadi sang juara.
Tentu saja Penny tak bisa bekerja sendiri dan di sinilah peran Lucien Laurin (John Malkovich) dan Ron Turcotte (Otto Thorwarth) muncul. Lucien Laurin adalah seorang pelatih kuda berpengalaman yang yakin kalau Secretariat punya peluang besar. Nyatanya, kuda balap yang satu ini memang berhasil menjadi kuda pertama dalam 25 tahun yang berhasil meraih Triple Crown. (Sumber : kapanlagi.com),


 

0 komentar:

Posting Komentar